Rabu, 03 Juni 2020

Situs Meurah Pupok Si Putra Kesayangan


Satu situs bersejarah terdapat dalam komplek Keerkhof atau Peutjut, tempat di kuburkan beberapa ratus prajurit serta perwira Belanda yang wafat dalam Perang Aceh semenjak 1873.

Situs ini tidak sama dengan kuburan Belanda yang lain, terproteksi oleh satu pagar pemisah dalam teduhan satu pohon teduh serta rimbun.


Itu makam Meurah Pupok, Putra Mahkota Kerajaan Aceh Darussalam di era 17. Ayahandanya sudah mempersiapkan putra kecintaan ini dengan beberapa keterampilan serta bela diri. Meurah Pupok dikenal juga untuk Pocut atau anak kecintaan.

Tetapi satu tragedi hentikan cara ke arah singgasana, si putra mahkota didakwa melakukan perbuatan tidak pantas pada orang isteri prajurit kerajaan. Sampai akhirnya si putra mahkota diberi hukuman sendiri oleh ayahandanya Sultan Iskandar Muda.

Tragedi ini selanjutnya melahirkan beberapa kata populer dari Si Sultan saat beberapa pejabat hulubalang kerajaan melobinya supaya memudahkan hukuman pada Meurah Pupok. "Mate Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Tradisi Pat Tamita" Kata Sultan Iskandar Muda yang tidak bergerak dari rayuan beberapa hulubalang.

Sesudah dikuburkan dalam teritori yang lain dengan keluarga kerajaan yang lain serta kuburannya tidak tertangani seperti seorang pangeran kerajaan. Tetapi saat Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam berkuasa pada tahun 1641-1675, makam Meurah Pupok mulai diatur lebih bagus serta dikasih penghormatan seperti seorang pangeran.



Sekarang empat era kemudian, komplek makam ini yang ada dalam kuburan Keerkhof jadi situs bersejarah. Untuk sinyal pengingat jaman "sesal dahulu penghasilan, sesal selanjutnya tanpa buat".

Mata Uang Emas Kerajaan Aceh


Beberapa mata uang emas dari kerajaan-kerajaan di Aceh yang umum disebutkan Derham Aceh diketahui sempat menghiasi perjalanan riwayat negeri ini. Koleksi mata uang emas itu memiliki nilai historis yang tinggi sekali seperti sudah ditunjukkan oleh hasil riset H.K.J. Cowan, J. Hulshoff Pol dan sebagainya. Oleh oleh karena itu T. Ibrahim AIfian membuat satu karangan tentang numismatic (Koleksi mata uang) di tahun 1979 agar bisa jadi pelajaran buat kita serta generasi akan datang.

Kerajaan Samudra Pasai, yang jejak-jejak peninggalannya masih diketemukan saat ini di Kecamatan Samudra Kabupaten Aceh Utara, adalah kerajaan Islam pertama di teritori ini yang keluarkan matauang emas. Di bawah Sultannya Muhammad Malik az-Zahir (1297 -1326) dikeluarkan mata uang emas yang sampai sekarang ini dipandang derham yang paling tua. Kerajaan ini mulai bertumbuh untuk pusat perdagangaan serta pusat peningkatan agama Islam di Selat Melaka di akhir era XIII M.

Mata Uang Emas Kerajaan Samudera Pasa jaman Sultan Malik Az Zahir (1297-1326)

Pada 1414 Parameswara, raja pertama Melaka membuat koalisi dengan Pasai, memeluk agama Islam serta menikah dengan puteri Pasai. Banyak pedagang-pedagang dari Pasai ke Melaka serta bertepatan dengan itu mengenalkan system penempaan mata uang emas ke Melaka. Mata uang emas atau derham Pasai, garis tengahnya kira-kira 10 mm, terkecuali milik Sultan Zain al-Abidin (1383-1405) serta Sultan Abdullah (1500-1513), sedang derham kerajaan Aceh yang ditempa lebih dari pada dua era setelah dikeluarkannya mata uang emas Pasai, sekitar seputar 12 sampai 14 mm.

Pernyataan as-sultân al-Adil sama seperti yang ada pada bahagian belakang derham Pasai digunakan juga oleh sultan-sultan kerajaan Aceh Dar as-salam mulai dari Sultan Salah ad-Din (1405-1412) s/d Sultan Ri'ayat Syah (1589-1604 M.), sedang semenjak Sultan Iskandar Muda (1607 —1637 M.), beberapa kata as-sultan al-Adil tidak dipakai pada derham Aceh.


Mata Uang Emas Kerajaan Aceh Darussalam jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)

Benar-benar mengundang perhatian pernyataan raja yang adil itu ada pada mata uang di Semenanjung Tanah Melayu. Pernyataan as-sultân al-adil bisa dibaca pada mata uang Sultan Ahmad yang bertahta di Melaka pada 1510 serta baginda pulalah yang menjaga Melaka dari gempuran Portugis. Pada bahagian belakang mata uang emas Kelantan-Patani, beberapa jenis kijang serta dinar matahari, terlukis beberapa kata malik al-Adil yang berarti raja yang adil. Demikian juga tulisan malik al-Adil ini bisa disaksikan pada mata uang mas kerajaan Trengganu yang disebutkan pitis yang diketahui tersebar pada 1838 di pesisir timur Semenanjung Tanah Melayu. Di Negeri Kedah juga pada mata uang Sultan Muhammad Jiwa Zainal Syah II (1710—1760) yang diberi nama kupang ada tulisan Adil Syah 1147, tujuannya raja yang adil, tahun 1734/5 M.

Raja-raja di Pidie serta di Daya peluang ada pula keluarkan mata uang emas. Apalagi daerah Pidie sempat jadi tempat perdagangan yang ramai. Sayang bukti-bukti peninggalan berbentuk mata uang emas kerajaan Pidie belum juga didapat.

Makam Sultan Iskandar Muda



Makam Sultan Iskandar di kelurahan Peuniti Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh

Makam Sultan Iskandar Muda Banda Aceh terdapat di Kelurahan Peniti, Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh. Makam ini ada di Komplek Kandang Meueh samping selatan yang berdekatan dengan Gedung Pendopo
Gubernur atau tempat tempat tinggal Gubernur Aceh, tempat Makam pada bagian timur bersebelahan dengan rumah Masyarakat, pada bagian samping Utara bersebelahan dengan Museum Negeri Aceh, di bagian Barat dibatasi dengan sungai Krueng Daroy. Dengan cara geografis ada di titik koordinat 5°32'50.6″N 95°19'15.2″E.

Makam Sultan Iskandar Muda adalah peninggalan yang telah tercatat untuk cagar budaya nasional, makam ini di dijaga serta dirawat UPT Kemendikbud, Kantor BPCB ( Balai Pelestarian Cagar Budaya ) Aceh dengan tempatkan seseorang ( Jupel) juru memelihara yang posisinya PNS.

Sultan Iskandar Muda ialah seorang Raja yang benar-benar arif, setia pada negara serta rakyatnya pada era ke XVI. Pada pemerintahannya Aceh diketahui dengan kerajaan yang kuat, jaya, adil serta Makmur hingga daerah kepemimpinanya sampai ke Malaya. Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam di tahun 1607-1636, serta membawanya pada pucuk kemasyhuran. Pada era ke-17 itu, Kerajaan Aceh ada di rangking paling besar ke-5 antara kerajaan-kerajaan Islam di dunia. Banda Aceh saat itu sudah jadi bandar perniagaan internasional, disinggahi beberapa kapal asing yang mengusung hasil bumi dari teritori Asia ke benua Eropa.

Pada saat kerajaan Iskandar Muda roda pemerintahannya benar-benar tertip mengenai hukum serta tradisi berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah diputuskan, siapa saja rakyat yang menyalahi masih diberi hukuman tanpa ada terkecuali kalaulah itu anak atau keluarganya. Pada sebuah kisah anak kandungnya lelaki namanya Meurah Pupuk beritanya dapat dibuktikan bersalah menyalahi lakukan kekeliruan berat hingga dijatuhkan hukuman pancung, sesudah di pancong beliau memberitahukan pada rakyatnya serta timbullah pepatah dalam bahasa Aceh " Gadoh Anek Meupat Jirat. Gadoh Tradisi Pat Tamita " berarti hilang anak tahu makamnya, hilang tradisi ingin mencari mana. Arti dari pepatah di atas ialah hukum atau tradisi yang telah diputuskan harus ditegakkan.









Hikayat Prang Sabi


Hikayat Prang Sabi buah karya Haji Muhammad (Teungku Chik Pante Kulu) di tahun 1881. Putra kelahiran Pante Kulu Keumala Pidie, awalnya semakin 28 tahun tinggal di Mekkah serta pulang ke Aceh untuk menantang kolonial. Belanda selanjutnya larang syair ini sampai Belanda pergi dari Aceh pada 1942.

Hikayat Prang Sabi berperanan besar dalam menghidupkan semangat perang, hingga jadi momok menakutka buat Tentara Belanda. Seorang Belanda Zentgraaf menggambarkan mengenai hikayat itu seperti berikut:
"Beberapa pemuda menempatkan langkah awalnya di medan perang atas impak yang besar sekali dari karya-sastra ini, sentuh perasaan mereka yang gampang tersinggung …. karya-sastra yang benar-benar beresiko".

Prof. Dr. Anthony Reid, pakar riwayat barat yang populer, menggambarkan Hikayat Prang Sabi itu untuk suatu hal yang benar-benar hebat.

Hikayat Prang Sabi ialah paling masyhur dalam menghidupkan semangat perang suci. Sejarawan Aceh Ali Hasjmy memandang jika hikayat Prang Sabi yang dicatat Tengku Chik Pante Kulu sudah sukses jadi karya sastra puisi paling besar di dunia.

Itu satu mahakarya Hikayat Prang Sabi, untuk puisi perang dalam menantang penjajah. Kegemilangan kemenangan dari spirit syair ini sudah jadi memory perjuangan yang diingat generasi selanjutnya. Satu syair dari "Penyair Perang" paling besar di dunia, Teungku Chik Pante Kulu.

Meriam Kesultanan Aceh







Semenjak era ke-16 Kesultanan Aceh serta Ottoman sudah merajut satu jalinan diplomatik yang cukup serasi. Serta jalinan itu diperjelas dengan dibuatnya mata uang berbentuk koin emas tertulis nama Sultan Aceh serta Sultan Ottoman yang berdampingan.


Jalinan diplomatik itu terbina diantaranya untuk bentuk kerja sama hadapi Portugis yang semakin gemar dalam memperlebar pengaruhnya di Selat Malaka semenjak tahun 1511 baik dalam bagian politik atau ekonomi.

Kesultanan Aceh waktu itu diperintah oleh Sultan Al-Kahar yang disebut Sultan Aceh ke-3 yang datang dari Dinasti Meukuta Alam, pendiri Kerajaan Aceh. Beliau berkuasa di antara tahun 1537 s/d tahun 1571. Di bawah kepempimpinannya, Aceh jadi satu kemampuan politik serta ekonomi yang sangat menguasai di daerah Sumatra serta Semenanjung Malaka.

Giancarlo Casale dalam tulisannya The Ottoman: Age of Exploration tuliskan jika sesudah Kesultanan Ottoman tumbuh bertambah lebih besar dari mulanya, dia jadi sandaran keinginan buat kerajaan-kerajaan Islam di Timur ( India serta Kepulauan Nusantara) yang baru bertumbuh.

Utusan dari Aceh untuk kali pertamanya tiba berkunjung ke Istanbul seputar tahun 1562. Arah mereka ialah minta pertolongan senjata berbentuk meriam. Sultan Ottoman yang berkuasa waktu itu, Sultan Suleiman I berasa berkesan serta siap mengirim pertolongan meriam komplet dengan teknisi serta seorang diplomat yang namanya Lufti Bey.

Kehadiran Lufti Bey di Aceh rupanya jadi satu hal yang cukup penting, sebab berdasar laporannya itu beberapa pemegang jabatan di Kesultanan Ottoman menjagi memahami akan tempat taktiks Aceh untuk pusat perdagangan dan garis paling depan umat Islam dalam hadapi Kristen Portugis di Nusantara. Sesaat dari faksi Aceh sendiri benar-benar ketertarikan ada di bawah Ottoman.

"Sultan Aceh, Sultan Al-Kahar menitipkan surat diplomatik untuk Sultan Suleiman I lewat Lufti Bey. Surat itu berisi pengakuan Sultan Al-Kahar yang tidak lagi ingin sebatas minta pertolongan senjata pada Sultan Suleiman I, serta tidak juga ingin merajut jalinan politik antar dua kerajaan yang berdisi sama sejajar, tetapi Sultan Al-Kahar ingin supaya dianya serta negerinya dapat ada serta diperintah dengan cara langsung oleh Sultan Suleiman I untuk alternatif pertolongan Ottoman dalam hadapi Portugis, " kata Casale dalam tulisannya itu.

Hal seirama dapat juga diutarakan oleh Dr Mehmet Ozay penulis Kesultanan Aceh serta Turki- Di antara Bukti serta Legenda. Dalam buku itu disebut jika Sultan ke-3 dari Kerajaan Aceh Darussalam yakni Sultan Ali Mughayat Syah Al-Qhahar sudah lakukan satu aksi monumental dengan mengirim utusannya untuk menjumpai Sultan Suleiman I.

Utusan itu salah satunya namanya Omar serta Hussein yang diantar oleh Sultan Aceh untuk menjumpai petinggi Kesultanan Ottoan pada tanggal 7 Januari 1565 dengan bawa sebagian besar komoditas bernilai ke Konstantinopel. Momen itu diketahui dengan lada sicupak, catat cendekiawan muslim ini.

Di saat utusan Aceh itu datang, Sultan Suleiman sedang pimpin pasukan dalam satu peperangan menantang Hungaria di Szigetwar, Eropa Timur. Menunggu sampai peperangan usai dan mangkatnya Sultan Suleman I membuat beberapa utusan Aceh itu habiskan waktu lebbih lama di Konstantinopel.

Dengan usaha sendiri, mereka sewa tempat serta berupaya cari nafkah untuk menjaga diri sendiri dengan jual semua komoditas lada yang mereka bawa serta dari Aceh, termasuk sisi yang sebetulnya sudah mereka niatkan untuk dihadiahan pada si sultan.

Sesudah Selim II, putra Sultan Suleiman I usai dikukuhkan, baru utusan Aceh memperoleh peluang untuk bertandang ke Istana, yakni 2 tahun sesudah kehadiran mereka di Turki.

Tetapi hadiah yang masih ada hanya secupak (satu genggam) lada serta cuma itu yang bisa mereka menawarkan untuk hadiah untuk si sultan yang barusan naik tahta. Dalam tatap muka sah itu, Sultan Selim II putuskan untuk mengusahakan pertolongan militer ke Aceh yang salah satunya ialah satu meriam yang dengan cara simbolis diberinama lada sicupak atau meriam yang diganti dengan satu genggam lada.


Meriam pemberian sultan Ottoman

Istimewanya, Sultan Ottoman waktu itu tidak minta Aceh agar mengiri upeti tahunan seperti adat Kesultanan itu pada semasing negara penganutnya pada saat itu.

"Pertolongan ini bukanlah seperti belas kasihan yang diberi oleh Ottoman di Istanbul, tetapi satu alasan politik yang dengan cara spesial untuk bentuk hibah politik pada Kesultanan Aceh untuk menyempurnakan kedaulatannya" catat Ozay dalam bukunya itu.

Walau kehadiran utusan dari Aceh ini cuma membawakan sedikit lada saja tetapi mereka memperoleh keyakinan seutuhnya dari Sultan Ottoman yang berkuasa waktu itu, Selim II.

Selim II yang selanjutnya memberikan perintah pada angkatan lautnya untuk mengirim 15 armada kapal monitor ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat militer, teknisi meriam, ahli-ahli pertukangan seperti penambang, pintar besi serta pintar emas.

Tetapi sayang, armada yang semestinya datang di Aceh di tahun 1568 harus dengan sangat terpaksa mengubah arah perjalanannya ke Yaman, Arab Selatan, buat mematikan satu pemberontakan. Sesaat yang masih berlayar ke arah Aceh hanya dua buah kapal yang bawa sekumpulan pedagang serta beberapa teknisi meriam, yang banyaknya serta masih kurang untuk memuluskan gagasan Sultan Al-Kahar menggempur Portugis di Malaka di tahun 1570.

Meskipun selanjutnya rombongan dari Turki itu tidak seutuhnya berperang dengan cara langsung menantang Portugis sama seperti yang diperlukan Aceh, tetapi mereka yang membuat pendidikan militer serta melatih rakyat dan pasukan Aceh dalam kuasai strategi serta taktik peperangan yang handal. Serta mereka ini yang mengajari rakyat Aceh untuk bikin sendiri senjata meriam serta membuat kapal yang dapat memuat meriam didalamnya.


Jalinan di antara Kesultanan Ottoman serta Aceh bukan hanya jalinan diplomatik semata serta untuk memberikan penghormatan pada Sultan Ottoman itu, nama Sultan Suleiman I serta Sultan Al-Kahar terukir berdampingan dalam koin-koin emas yang dipakai. Serta nama Sultan Ottoman juga sering disebut dalam tiap ceramah Jumat.

Pinto Khop




Pinto Khop salah satu situs Peninggalan Purbakala atau peninggalan riwayat Aceh tempo dahulu pada saat Kerajaan Sultan Iskandar muda era ke – XVI, yang terdapat di bagian barat atau di belakang Pendopo Gubernur saaat ini, yang tempatnya di kelurahan Sukaramai Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh.

Dengan cara astronomis Letak astronomis Banda Aceh ialah 05°16′ 15″ – 05° 36′ 16″ Lintang Utara serta 95° 16′ 15″ – 95° 22′ 35″ Bujur Timur dengan tinggi rerata 0,80 mtr. di atas permukaan laut. Situs Pinto Khop bersebelahan seperti berikut :

– Samping Utara bersebelahan dengan Kantor Kejaksaan Tinggi

– Samping Selatan bersebelahan dengan Jalan Nyak Adam Kamil

– Samping Timur bersebelahan dengan komplek perhubungan Militer

– Samping Barat bersebelahan dengan jalan T. Umar atau simpang Empat



Pintu khop dibuat oleh Sultan Iskandar Muda pada saat kejaaanya yang dipakai untuk pintu penghubung di antara Istana dengan taman sari Gunongan atau Taman Hasrat terdapat di halaman istana sisi belakang, pinto khop sekarang ini telah diatur rapi serta dikelilingi kolam yang airnya benar-benar jernih serta bersih yang airnya dialiri dari sungai darul Ashiqi, sungai ini bukanlah sungai alam namun sungai yang menyengaja dibikin panjangnya seputar ± 5 km dari pegunungan Mataie kecamatan Darul Imarah Kab. Aceh Besar, sungai ini dipisah dua arah yang satu arahnya ke punge tembus ulee lheue (ulelee) serta yang satu lagi arahnya melalui kolam pinto Khop yang mengalir sampai bawah Istana (lewat Pendopo Gubernur sekarang ini) yang tembus ke sungai Krueng Aceh.

Lingkungan atau ruang Tempat Pinto Khop mempunyai luas ± 5 ha atau 4.760 m2 sekarang ini di untuk jadikan taman piknik wisata yang diurus oleh pemda kota Banda Aceh serta telah teratur demikian indah, hingga tempat ini belum pernah sepi didatangi oleh beberapa wisata lokal atau manca negera. Biasanya pengunjung lokal benar-benar ramai di sore hari cari selingan bersama-sama beberapa anak serta keluarganya. Taman ini tidak demikian jauh dari Masjid Raya Baiturrah Banda Aceh cuma memiliki jarak ± 1 km, di dalam taman ini objek yang benar-benar menarik serta unik ialah Pinto Khop. Info dari Aceh Pedia menjelaskan jika Pinto Khop (Pintu Biram Indrabangsa) dengan cara bebas bisa disimpulkan untuk pintu mutiara keindraan atau kedewaan/raja-raja. Pinto Khop atau Gerbang pada di bagian belakang istana adalah pintu penghubung di antara istana dengan Taman Ghairah (Taman sari Gunongan). Pada saat kerajaan Sultan Iskandar Muda gerbang ini ada pada sebuah kompleks dengan Taman Sari Gunongan, hingga bentuk serta skema hias yang berada di pinto khop selaras dengan relif yang berada di gunongan. Bangunan Pinto Khop dibuat dari bahan batu serta kapur dengan rongga untuk pintu serta langit-langit berupa busur bisa ditempuh dari arah timur serta barat. Sisi atas pintu masuk berhiaskan dua batang daun yang disilang, hingga memunculkan fantasi (dampak) stiliran profil muka dengan mata serta hidung dan rongga pintu untuk mulut. Atap bangunan yang bertingkat tiga dihiasi dengan beberapa hiasan dalam bingkai-bingkai, diantaranya biram berkelopak (mutiara di kelopak bunga seperti yang diketemukan pada bangunan gunongan) serta sisi pucuk dihiasi dengan sangga pelinggam (mahkota berbentuk topi dengan sisi pucuk meruncing) di bagian atap adalah pelana dengan modifikasi di empat bagian serta berlapis tiga serta menurut narasi rakyat pada bagian utara serta selatan ada pagar atau tembok yang tingginya 130 cm serta tebalnya 50 cm yang disangka pemisah di antara lingkungan kraton dengan taman sari, tetapi tembok itu tidak diketemukan.

Pinto Khop awalnya dilindungi oleh UPT Pusat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kantor Suaka Peninggalan Riwayat serta Purbakala atau waktu Kantor BPCB ( Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh) dengan menempat seseorang Juru Memelihara. serta saat ini diurus penuh oleh Pemda Kota Banda Aceh.

Benteng Indrapatra





Bulan April lalu, saya habiskan weekend pertama bulan itu di Banda Aceh untuk sedikit mengurangi saraf-saraf otak yang kelihatannya mulai kencang karena kerja serta kurang rekreasi. Saya pergi bersama-sama keluarga sebab kebetulan ada sanak famili yang membuat acara pesta pernikahan di Banda Aceh. Berlibur ke Banda Aceh di saat itu saya targetkan untuk memfoto beberapa tempat bersejarah, salah satunya adalah Rumah Cut Nyak Dhien yang saya hadirkan pada tulisan awalnya, serta Benteng Indra Patra. Pagi itu, seputar jam 09.00 saya mulai pergi ke arah arah Timur dari Kota Banda Aceh. Seputar 30 menit perjalanan, pada akhirnya saya datang di tempat yang saya incar, yakni Benteng Indra Patra. Hari itu cuaca benar-benar cerah, langit biru dihiasi beberapa gumpalan awan putih, benar-benar benar-benar pas untuk ambil gambar. Tempat benteng ini memiliki jarak seputar 1 km. dari jalan penting, yakni masuk jalan yang ke arah pantai. Dengan cara administratif, teritori benteng ini masuk ke daerah Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Teritori ini dekat sama teritori Pantai Ujong Bate sebagai tempat arah wisata buat masyarakat Banda Aceh serta sekelilingnya.


Masuk teritori benteng, satu kesan-kesan langsung muncul di pikiran saya ialah kurang tertangani! Bagaimana tidak, jalan akses dari jalan penting ke arah teritori benteng ini berbentuk jalan tanah dengan batu-batuan yang cukup mengguncangkan, untungnya jarak yang perlu dilewati tidak jauh. Selanjutnya lagi, bangunan yang ada di benteng nampak benar-benar memprihatinkan dengan bagian-bagian yang hancur. Saya tidak paham apa bangunan itu hancur karena perang jaman dulu, atau memang hancur sebab tidak tertangani secara baik. Tetapi saya tidak ingin mempersoalkan hal itu. Saya terus repot mengincar tiap pojok dengan camera untuk memperoleh beberapa gambar yang saya kehendaki. Awalnya untuk masuk di dalam sisi dalam bangunan benteng, saya harus melalui tangga yang disiapkan sebab memang tangga itu adalah akses salah satu untuk masuk di dalam bangunan benteng. Pada akhirnya sesudah senang memfoto serta berasa cukup hanya beberapa gambar yang saya bisa, saya langsung bergegas untuk pulang.


Beberapa minggu sesudah bertandang dari Benteng Indra Patra, baru saya mulai cari info mengenai riwayat benteng itu. Hasil dari pencarian di dunia maya, saya dapatkan artikel-artikel yang mengulas mengenai riwayat Benteng Indra Patra untuk selanjutnya saya kumpulkan serta saya catat kembali lagi di tulisan ini. Jadi, menurut riwayat benteng ini dibuat pada era ke-7 Masehi oleh Putra Raja harsa dari Kerajaan Lamuri. Kerajaan Lamuri ialah kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) sebelum impak Islam masuk dalam Aceh. Benteng Indra Patra ada di Teluk Krueng Raya serta bertemu langsung dengan Benteng Inong Balee yang ada di teritori perbukitan di seberangnya. Tempat benteng ini bertemu langsung dengan Selat Malaka, tempat yang lumayan strategis mengingat peranan benteng ini untuk benteng pertahanan dari gempuran armada Portugis. Ada tiga peninggalan jaman Hindua-Buddha di Aceh yang dikaitkan dengan daerah yang disebutkan Trail Aceh Lhee Sagoe, serta Benteng Indra Patra ialah sisi dari 3 benteng dalam Trail Aceh Lhee Sagoe itu. Bila ke-3nya dikaitkan (Indrapatra, Indrapuri, serta Indrapurwa) maka membuat segitiga, segitiga berikut yang disebutkan Lhee Sagoe dalam Bahasa Aceh.